A.
Pengertian Tarikat
Pengertian
secara bahasa
1.
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah (طريقة )
jamaknya tharaiq (طرق ) yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara,
(2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4)
keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud
al-mizalah).
2.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali
(740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh
jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan
demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian
bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju
kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua,
tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan
adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Menurut
Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, sebagai
berikut:
1) Tarekat adalah pengamalan
syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari
(sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi
larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik
larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan
yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung)
fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan
kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi)
yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut
L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan tasawuf di
beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai
dua macam pengertian.
1.
Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan
kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan
Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat”
dan “Al-Ahwaal”.
2.
Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang
didirikan menurut ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu
aliran Tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh
mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan
bersama dengan murid-muridnya.
Dengan demikian
pengertian Tarekat secara istilah adalah jalan petunjuk dalam melakukan suatu ibadah
sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan
oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung
menyambung dan rantai berantai.
B.
Tokoh-tokoh dan Ajaranya dalam Tarikat
1.
Tarikat Qodiriyah
a.
Tokoh
Tarikat Qodiriyah
Tarekat
Qodiriyah
merupakan nama tarekat yang didirikan
oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi. Tarekat
Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria . Di Indonesia,tradisi
tarekat ini juga masih melekat di masyarakat kita. Syekh Abdul Qadir al-jailani
merupakan tokoh yang sangat
masyhur. Namanya selalu
disebut dalam tradisi
Tawasul acara-acara keagamaan. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad
ke-13.
Namun meski
sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad
ke 15 M. Di Makkah, tarekat
Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Dalam
usia 8 tahun Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir
Jaelani Al Baghdadi sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488
H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang
waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid
al-Ghazali. Tapi, dia tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya
yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama
itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada
tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada
masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani
menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya
dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia
memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya
Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214
M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603
H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
b.
Ajaran
Tarikat Qodiriyah
1.
Zikir kepada
Allah dengan mengucap Laailaaha illallah , adalah diamalkan
setelah shalat wajib sebanyak 165 kali atau lebih.diluar shalat wajib ,zikir tersebut tidak dilarang untuk diamalkan,bahkan
dianjurkan.zikir ini dinamakan zikir
Jahar, yakni zikir yang diucapkan dengan suara keras.zikir yang lain yaitu
Zikir Khafi, yaitu zikir yang dibaca dalam hati.ini juga menjadi amalan pokok
sebagai realisasi tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.
2.
Zikir pokok tarekat Qadiriyah yaitu membaca
Istighfar paling sedikit dua kali atau duapuluh kali dengan lafadz Astaghfir
Allah al-ghafur al-Rahim.
3.
membaca shalawat sebanyak itu pula dengan
lafadsz Allahuma shali’ala sayyidina Muhammad wa’ala alihi wa shahbihi wa
sallim.
4.
membaca La ilaha illallah seratus enampuluh
kali setelah selesai shalat fardhu.
Pengucapan lafadz Lailaha illallah memiliki
cara tersendiri, yaitu kata la dibaca sambil dibayangkan dari
pikiran ditarik dari pusat hingga otak, kemudian kata ilaha dibaca
sambil menggerakkan kepala kesebelah kanan, lalu kata illallah dibaca dengan
keras sambil dipukulkan kedalam sanubari, yaitu kebagian sebelah kiri.
5.
membaca Sayyidina Muhammad Rasul Allah
Shalallah ‘alaihi wa sallam.lalu membaca shalawat Allahuma shalli’ala
sayyidina Muhammad shalatan Tunjina biha min jami al-ahwal wa al-afat
6.
membaca surat Al-Fatihah ditujukan kepada
Rasulullah SAW dan kepada seluruh Syekh-syekh tarekat Qadiriyah serta para
pengikutnya juga seluruh orang islam baik yang masih hidup maupun yang sudah
mati.
Selain
persyaratan tersebut diatas,setiap orang yang hendak mengikuti tarekat
Qadiriyah harus menjalani dua tahapan.
Pertama , yaitu tahap
permulaan yang terdiri dari :
1. Mengikuti dan menerima bai’at guru sebagai
pertemuan pertama antara guru dan murid.
2. Penyampaian wasiat oleh guru kepada Murid.
3. Pernyataan guru membay’at muridnya diterima
menjadi murid dengan lafadz tertentu.
4. Pembacaan do’a oleh guru yang terdiri dari
do’a umum dan do’a khusus.
5. Pemberian minum oleh guru kepada murid
sambil dibacakan beberapa ayat Al-Quran.
Kedua, tahap
perjalanan,
Tahap perjalanan dimaknai sebagai tahap murid
menuju Allah melalui bimbingan guru. Murid harus melalui tahap dalam waktu yang
bertahun-tahun sebelum ia memperoleh karunia Allah yang dilimpahkan
kepadanya.selama perjalanan itu,murid masih menerima ilmu hakikat dari
gurunya.selain itu dia dituntut untuk berbakti kepadanya, dan menjauhi
larangannya.murid harus terus berjuang untuk melawan nafsunya dan melatih diri
(mujahadah dan Riyadhah ).
2.
Tarikat
Rifa’iyah
Ajaran tarekat
ini dibangun oleh Syekh Ahmad ar-Rifa’i (1182) di Bashra. Tarekat ini menyebar ke Mesir,Suriah Anatolia di Turki
Eropa Timur dan akhir-akhir ini di Amerika Utara. Ciri khas tarekat adalah
pelaksanaan zikirnya yg dilakukan ber-sama2 & di iringi dgn suara gendang
yg bertalu-talu.Zikir tsb dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka
dpt melakukan perbuatan2 yg menakjubkan,
antara lain
berguling-guling dlm cara & tdk mempan oleh senjata tajam.
Rifa’iyah
adalah sebuah Organisasi para santri K.H. Ahmad Rifa’i Desa Kalisalak Kecamatan
Limpung – Batang – Jawa Tengah Indonesia. Untuk lebih mengenal tentang Rifaiyah
disini saya paparkan mengenai tokoh utama Rifa’iyah yaitu Kyai Haji Ahmad
Rifa’i. Saya mengutip tulisan ini dari buku karangan H. Ahmad Syadirin Amin
yang berjudul “Pemikiran Kiai Haji Ahmad Rifai Tentang Rukun Islam
Satu“terbitan Jama’ah Masjid Baiturrahman Jakarta Pusat Tahun 1994/1415 H dengan harapan akan membantu anda mengenal
siapa Kiai Haji Ahmad Rifai sehingga diketahui asal muasal Rifa’iyah.
Sebelumnya Sebagai Tradisi K.H.Ahmad Rifa’i yang harus saya lestarikan adalah
beliau selalu mengawali setiap tulisan beliau dengan bacaan Bismillah dan
Hamdallah dan Solawat , setelah membaca Bismillah dan Hamdallah serta solawat
maka mari Kita mulai membaca uraian dibawah ini.
a.
Tokoh Tarikat Rifa’iyah
Kiai Haji Ahmad
Rifai dilahirkan pada 9 Muharam 1200 H atau 1786 di desa Tempuran Kabupaten Semarang (saat itu)
dari pasangan suami isteri K.H. Muhammad Marhum Bin Abi Sujak Seorang Penghulu
Landerad di Kendal dan Siti Rahmah, pada waktu usia Beliau sekitar 6 tahun ayah
Beliau wafat (Semoga Allah Mengasihinya), sehingga Beliau mendapat sentuhan
kasih sayang dari seorang ayah dalam waktu yang singkat, yaitu selama 6 tahun.
pada usianya yang begitu muda itu (6 tahun) itu beliau (Ki Ahmad) sudah diasuh
oleh kakaknya yang bernama Nyai Rajiyah istri Kiai As’ari seoarang ulama
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu.
Di sinilah
Syekhina belajar ilmu agama kepada kiai As’ari dan diamalkan melalui dakwah
lisan dan tulisan kepada rakyat sekitarnya, sebelum sampai kesuksesannya menelurkan banyak karya ilmiah yang sarat ilmu
dan patriotisme serta cita-cita kemerdekaan yang justru menghadirkannya pada
suatu keadaan yang tidak menguntungkan baginya dan bagi kita (dampaknya sampai
sekarang) yaitu: berpisah dengan keluarga dan menikmati masa masa terakhir
hidup dalam pengasingan meski sempat ada komunikasi lewat surat-menyurat dengan
Maufuro tetapi setelah ketahuan
Belanda hubungan benar-benar putus dan para
murid semakin terpojok oleh isolasi Belanda, kitab-kitab banyak disita Belanda
dan sekarang cerita ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja bahkan
keturunan syeikhina dijawa tidak diketahui, tanah wakaf dijarah penduduk meski
sebagian telah dibeli / dimerdekakan oleh para Saudara Rifaiyah yang semoga dimuliakan
Allah ( Aneh!!!!!!?!!) serta isu klasik yang menyerang para muridnya ditambah
tidak adanya regenarasi menjadikan kita minoritas kalah kuantitas bahkan
mungkin kualitas.
Beliau hidup
dipengasingan sampai ajalnya menjemputnya di Ambon pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286 H (usia 86 tahun), ada riwayat lain yang
mengatakan beliau wafat pada 1292 H (92 tahun,
semoga yang ini benar, karena itu berarti beliau panjang umur) di kampung Jawa
Tondono Kabupaten Minahasa, Manado Sulawesi Utara dan dimakamkan
di komplek makam pahlawan Kiai Modjo di sebuah bukit yang terletak kurang lebih 1
km dari kampung Jawa Tondano (Jaton) mencari ilmu ke Mekkah dan Mesir.
Setelah
beberapa kali keluar masuk penjara Kendal dan Semarang karena
dakwahnya tegas, dalam usia 30 tahun, Ahmad Rifai berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, ke Madinah ziarah Makam Rosululloh SAW dan memperdalam ilmu di sana selama 8
tahun. Dan kemudian di Mesir selama 12
tahun. Di Haramain (Mekkah dan Madinah) ia berguru kepada Syaikh Abdul Aziz Al Habisyi, Syaikh Ahmad Ustman dan Syaikh Is Al -Barawi. Sedang di Mesir ia berguru pada Syaikh Ibrahim Al Bajuri dan kawan-kawan.
Pulang ke Kendal menjelang kembali ke kampung halaman di Kendal, Kiai Haji Ahmad Rifai bertemu dengan
ulama-ulama Indonesia di Mekkah , Nawawi dari Banten, Muhammmad Khallil dari Madura dan teman yang lain. Dalam pertemuan itu,
mereka mengadakan musyawarah untuk memikirkan nasib umat di Indonesia yang
sedang terbelenggu oleh takhayul, kufarat dan mistis. Bahkan bangsa Indonesia sedang dalam
cengkeraman Belanda hasil
musyawarah yang mereka sepakati bersama, mengadakan pembaharuan dan pemurnian
islam lewat pengajian, diskusi, dialog dan penerjemahan kitab-kitab bahasa Arab ke bahasa Jawa ( Jarwa’ake!).
Isi dalam karya
diutamakan membahas ilmu pokok yaitu Aqidah Islamiah Ibadah – Muammalah dan Akhlak. Kiai Nawawi mengemban tugas menyusun kitab Aqidah, Ahmad
Rifai Fiqih dan Muhammad Khallil menyusun Tasawuf. Pada tahun 1254 H Haji Ahmad Rifai telah selesai menyusun
kitab Nasihatul Awam di Kalisalak Batang Pekalongan. Nawawi menetap di Banten dan Khllil di Madura. Bagi Syekh Nawawi , karena keadaan pada waktu itu masih di bawah
jajahan Belanda, dan setiap
gerak-gerik ulama selalu diawasi, termasuk kegiatan Nawawi, ia terpaksa kembali ke Mekkah untuk mengajarkan ilmu yang dimiliki kepada
mahasiswa yang berdatangan ke sana dari berbagai negara.
Di Mekkah, ia tinggal disebuah perkampungan Syi’ib Ali sampai wafatnya. Muhammad Khallil memimpin pesantren dan sebagai guru tarekat muktabarah di Bangkalan Madura sampai akhir hayatnya. Sedang Ahmad Rifai
sebelum hijrah ke Kalisalak, Haji Ahmad Rifai pulang ke desa Tempuran Kendal ingin melepas rindu dengan keluarga. Namun
Tuhan menghendaki lain, istri yang diharapkan bisa memberi semangat dalam
perjuangan, telah tiada.
Meskipun
demikian, semangat Syeikhina dalam menegakkan kebenaran mengalahkan kebatilan
tidak menjadi surut. Tidak lama setelah pulang dari Mekkah, Syeikhina beliau tidak diperkenankan tinggal
di Kendal karena Haji
Ahmad Rifai selalu mengkritik elit e agama ,birokrasi Belanda dan Masyarakat
yang berkolaborasi dengan kolonial Belanda. Karena
Menurut Syaikhina Belanda adalah kafir. Strategi Dakwah Pesantren Kaliwungu
Kendal adalah sebuah pemondokan para santri dari berbagai daerah belajar
mengaji kitab salaf kepada seorang kiai asli keturunan Keraton Yogyakarta Kiai Asy’ari
namanya kakak ipar Syeikhina, suami Nyai Rajiyah (kakak perempuan Syeikhina).
Di pesantren
inilah Syeikhina dibesarkan dan memperoleh pendidikan dan pembinaan dari Kiai
Asy’ari, setelah tumbuh menjadi pemuda dan dianggap cukup pengetahuan ilmu
agamanya, Kiai Ahmad Rifai terjun ke dunia dakwah di Kendal, Wonosobo bahkan
Pekalongan, di Kendal ia mendirikan pengajian dan menghimpun parasantri yang
datang dari berbagai daerah, sehingga menjadi kelompok pengajian yang besar.
Keberhasilan
Kiai Ahmad Rifai ini karena dakwah dan pengajiannya sangat menarik sebelum
kegiatannya diketahui oleh pemerintah kafir kolonial setempat, Ahmad Rifai Kiai
keturunan Kraton Yogyakarta ini telah
berhasil menggalang kekuatan barangkali belum pernah dimiliki kiai-kiai lain.
Sehingga pada saat ia diasingkan dari Kendal kemudian atas inisiatif sendiri
menetap di Kalisalak , Kiai Ahmad Rifai sudah punya jaringan luas
untuk mengembangkan ajarannya.
Strategi dakwah yang dikembangkan kiai Ahmad
Rifai saat itu antara lain: menghimpun anak-anak muda untuk dipersiapkan kelak
menjadi kader-kader dakwah, karena pemuda adalah harapan keluarga dan
masyarakat. Di tangan pemudalah urusan umat dan dalam derap langkah pemudalah
hidupnya umat. Sekarang pemuda, esok pemimpin. Pemuda Qahar dan Maufuro adalah
bukti hasil pengaderannya.
Menghimpun kaum
dewasa lelaki dan perempuan dari kaum petani, pedagang dan pegawai pemerintah,
dimaksudkan untuk memperkokoh strategi dakwah, penyokong utama dalam segi
finansial dan dewan harian pelaksanaan dakwah pengajiannya itu. Mengunjungi
sanak famili terdekat diajak bicara tentang kondisi agama, politik dan sosial
yang dimainkan oleh pemerintah kolonialisme Belanda dengan
membuktikan fakta-fakta yang ada dan langkah yang akan ditempuh dengan dakwah
dan pengajian, supaya memperoleh simpati keluarga. Para santri dan murid
dianjurkan kawin antar sesama murid atau murid dengan anak guru, antar desa dan
antar daerah dimaksudkan agar terjalin hubungan yang mesra dan saling
menumbuhkan kasih sayang dan dapat mengembangkan ilmunya didaerah masing
masing. Kiai Maufuro menikah dengan anaknya bernama Nyai Fatimah alias Umroh.
Pada hari-hari
tertentu mengadakan kegiatan khuruj berkunjung ke tempat lain yang miskin
materi dan agama . Dengan
kunjungan itu diharafkan akan memperoleh respon dari masyarakat atau mungkin
paling tidak dapat membentengi pengaruh budaya barat yang merusak. Menghimpun
kader-kader muslim terdiri dari santri dan murid dari berbagai daerah kemudian
dijadikan mubalig untuk diterjunkan ke berbagai pelosok guna memberi dan
menyampaikan dakwah ketengah masyarakat.
Mendatangi
masjid-masjid untuk memperbaruhi arah sholat ke arah menghadap kiblat. Masyarakatnya, disarankan agar tidak menaati
pemerintah kolonial, Belanda di Indonesia telah merusak
kepribadian dan kebudayaan bangsa.
Menerjemahkan
kitab-kitab berbahasa Arab dengan kitab berbahasa Jawa yang mudah dipahami dan
diamalkan dengan model karangan sendiri. Untuk menyesuaikan kondisi masyarakat
pada waktu itu, dibuatkan kitab -kitab berbentuk syair atau nadzam yang indah
dan dilagukan sedemikian rupa sehingga menarik minat pembaca dan pendengar,
kertas putih, tulisan merah, untuk setiap Al Qur’an, Al Hadits, Qoulul Ulama (perkataan ulama) serta tiap
kata awal dari syair (yang Mengilhami ditulisnya tulisan ini dengan huruf merah
pada awal paragraf) serta hitam untuk tulisan makna dan komentar, penulisan ini
sesuai dengan budaya bangsa sejak Sultan Agung Mataram XVI dalam
penulisan kitab-kitab Arab.
Menciptakan
kesenian terbang (rebana) disertai dengan lagu-lagu, syair-syair, nadzam-nadzam
yang diambil dari kitab karangannya, sehingga terbangan itu di sebut Jawan.
Terbangan itu dimanfaatkan untuk mengingat pelajaran, hiburan pada saat ada
hajatan dan sekaligus mengantisipasi budaya asing yang merusak. Budaya itu
sengaja dibawa Belanda ke Indonesia untuk melawan budaya tanah air yang
diwariskan oleh nenek moyang kita yang muslim dan mukmin.
Pindah Ke
Kalisalak rupanya pemerintah kolonial merasa khawatir terhadap gerakan
keagamaan Haji Ahmad Rifai itu berkembang di daerah kendal dan sekitarnya,
karena gerakan yang semula dirintangi itu ternyata makin banyak pengikutnya
dari daerah lain. Diduga kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap
gerakan Ahmad Rifai ini, diilhami oleh kekhawatiran pemerintah kolonial akan
munculnya kembali pemberontakan, seperti terjadinya Perang Diponegoro di Jawa Tengah pada 1825 – 1830.
Pemerintah
tidak mau lagi jatuh kedua kalinya dalam satu lubang. Sebelum Mubalig Ulung
lebih jauh melangkah, pemerintah kolonial mengambil langkah mengasingkan ulama
kharismatik ini ke luar Kendal, tidak lain agar gerakan beliau terhambat dan
tidak berkembang. Atas kenyataannya ini kemudian ia memilih tempat tinggal di Kalisalak sebagai basis perjuangannya. Langkah ini
ditempuh karena Kalisalak merupakan daerah strategis untuk medan dakwah dan
memudahkan kontak hubungan dengan semua pihak dari berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pada umumnya
masyarakat disana kaum petani yang pengetahuan agamanya perlu disempurnakan.
Selain itu para murid yang pernah mendapat latihan mental waktu di Kendal
adalah dari Krisidenan Pekalongan, di samping Karisidenan lain, seperti Maufuro
Batang, Abu Ilham Batang, Abdul Azis Wonosobo, Abdul Hamid Wonosobo, Abdul
Qohar Kendal, Muhammad Thuba Kendal, Imamtani Kutowinangun, Muh Idris
Indramayu, Muharrar Purworejo, Mukhsin Kendal, Mas Suemodiwiryo Salatiga,
Abdullah ( Dolak ) Magelang, Abu Hasan Wonosobo, Abu Salim Pekalongan, Abdul
Hadie Wonosobo, Tawwan Tegal, Asnawi Pekalongan, Abdul Saman Kendal, Abu
Mansyur Wonosobo, Abdul Ghani Wonosobo, Muhammad Hasan Wonosobo, Muhammad
Tayyib Wonosobo, Ahmad Hasan Pekalongan, Nawawi Batang , Abu Nawawi Purwodadi.
Mereka itulah
kader-kader Mubaligh tangguh yang berjasa mengembangkan pemikiran
Haji Ahmad Rifai ke daerah – daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ketika Haji
Ahmad Rifai berada di Kendal sempat menuklahkan putranya, Fatimah Alias Umroh
dengan lurah Pondok, Maufuro bin Nawawi, Keranggonan ( sekarang Karanganyar ) Kecamatan Limpung. Setelah meninggalkan kota Kendal, Haji Ahmad Rifai sementara tinggal di rumah
Kiai Maufuro menantunya.
b.
Ajaran Tarikat Rifa’iyah
Dakwah Ahmad Rifai diawali dengan menyelenggarakan
pengajian untuk anak-anak. Namun lembaga itu kemudian berkembang menjadi
majelis pendidikan yang mencakup pula orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun
perempuan,yang menyebabkan pengajian haji Ahmad Rifai cepat terkenal adalah
metode terjemahannya, baik Al-Quran, Al-Hadits maupun kitab-kitab karangan
ulama Arab dan Aceh lebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum
diajarkan kepada para murid, bahkan kelihatan sebagai kewajiban yang ditempuh
secara sadar,seperti yang tersirat di dalam satu bait kitab Ri’ayatal Himmah
karya Haji Ahmad Rifai, sebagai berikut:
Wajib saben
alim adil nuliyan narajumah kitab Arab rinetenan supoyo wong jawi akeh ngerti
pitutur saking Qur’an lan kitab – kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal
ngerti milahur ningali kitab Tarjamah jawi pitutur
Artinya:
Diwajibkan bagi setiap alim adil ( ulama akhirat ) untuk menejemahkan kitab Arab, agar orang
jawa lebih mengerti ajaran dari Al
Quran
dan kitab-kitab Arab ( Hadits dan Ulama ) dengan benar sehingga orang awam
mengerti dan segera melaksanakannya.
Ahmad
Rifai adalah satu – satunya tokoh yang
bisa memberikan uraian tentang agama Islam tanpa memakai idiom – idiom Arab dan
mampu mengarang buku dalam bahasa yang menarik karena memakai bentuk syair. Metodologi yang digunakan
dalam pengajarannnya menggaunakan empat tahapan . Keempat tahapan itu adalah:
1.
Tahapan Pertama ; Seorang santri harus
belajar membaca kitab Tarojumah terbatas pada tulisan Jawa. Sistem pengajaran
ini dinamakan ngaji irengan , mengejakan satu persatu huruf kemudian merangkum
menjadi bacaan atau kalimat, tingkatan ini merupakan awal didalam cara membaca
kitab Tarojumah . Disamping itu para Santri harus menghafal syarat rukun iman,
dan islam, ibadah sholat dan wiridan ” Angawaruhi Ati Ningsun…….!” atau ”
Sahadat Loro”. Setelah Sholat fardlu, diwajibkan mengikuti praktek Sholat yang
dipimpin oleh lurah -pondok yang bersangkutan .
2.
Tahapan Kedua ; Mengaji dalil – dalil Al – Qur’an , Hadist dan Qoulul
Ulama’, yang terdapat Kitab Tarojumah. Dalam Tahapan ini Seorang Lurah pondok
harus menguasai ilmu tajwid Al – Qur’an dan mampu mengaplikasikannya dalam
bacaan Al-Qur’an dengan benar. Pengajian tahap ini disebut ngaji abangan karena
memang tulisan Arab untuk dalil adalah berwarna merah atau ABANG atau disebut
juga ngaji dalil karena hanya dalil saja yang dibaca. Di samping itu santri
harus hafal dan bisa serta paham tentang Syarat – Rukun Puasa dan Sholat.
3.
Tahapan Ketiga ; Mengaji dalil dan makna
jadi satu dari kitab – kitab Tarojumah , tahapan ini dinamakan ngaji lafal
makno ( belajar menerjemahkan tiap kata dalil / kalimat dalil dengan bahasa
jawa yang ada dibawah dalil itui ) , disini para santri membutuhkan kejelian
dalam mencari arti.
4.
Tahapan Keempat ; Seorang santri diajak
memahami maksud yang terkandung dalam kitab – kitab Tarojumah , karena hampir
setiap kalimat mempunyai makna harfiah dan tafsiriah yang tentunya membutuhkan
keterangan dan pemahaman yang dalam . Kitab – kitab Tarojumah disusun dengan
formula lengkap : Kamaknanan , Kamurodan , Kasarahan , Kamaksudan Dan
Kapertelanan , atau dengan kata lain ngaji maksud , ngaji sorah , ngaji
bandungan , atau ngaji sorogan . Pengajian ini berupa pembacaan dan penerangan
isi kandungannya dan dilakukan oleh Syaikhina Haji Ahmad Rifai sendiri
dihadapan para santri dan murid pilihan kemudian mereka satu persatu memcoba
menirukan seperti apa kata beliau . Dalam pengajian ini diajarkan pula oleh
ulama’ itu tentang ilmu dan amalan kesunahan yang tidak tertulis didalam kitab
– kitab Tarojumahnya.
3.
Tarikat
Syaziliyah
Tarekat
ini lahir di Maroko,yg direalisasikan oleh Syekh Abdul Hasan as-Syadzili(1258).
Tarekat ini merupakan salah satu komunitas ajaran sufistik yg memiliki pengikut
yg luar biasa banyaknya. Sekarang ,tarekat ini sudah menyebar di berbagai
negara.Diantaranya,di Afrika utara,Mesir, Kenya, Tanzania, Timur-tengah,&
Sri langka.Bahkan ,aliran tarekat ini telah merambah ke Amerika
barat/utara.Tarekat ini umumnya diikuti oleh kalangan kelas menengah,
pengusaha, pejabat, dan pegawai negeri. Sebagian ajaran tarekat ini
dipengaruhi oleh iman al-Ghazali & al-Makki.
a.
Tokoh
Tarikat Syaziliyah
Tarekat
Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syeh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama
Lengkapnya adalah Abul Hasan Asy Syadzili al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar
bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya’ bin Ward bin
Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad anak pemimpin pemuda ahli
surga dan cucu sebaik-baik manusia: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti
Rasulullah SAW.
Nama
kecil Syeh Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin,
Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy Syadzili. al-Syadzili lahir di sebuah desa yang bernama
Ghumarah, dekat kota Sabtah pada tahun 593 H(1197 M). menghapal al-Quran dan pergi ke Tunis ketika usianya masih sangat muda. Ia tinggal
di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa tersebut
meskipun ia tidak berasal dari desa tersebut.
b.
Ajaran
Tarikat Syaziliyah
Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan
karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai
ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari adalah orang
yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga
orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat
tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan
setelahnya.
Melalui
sirkulasi karya-karya Ibn Atha’illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai
ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap
merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak
dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal
atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas
dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi
murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat
Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu
dengan yang lain.
Sebagai
ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu
perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: “Seandainya kalian mengajukan
suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”.
Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi
anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.”
Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim
at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya
Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn
Atah’illah.
Ajaran
Pokok Tarikat Syadziliyah
Tauhid
dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musrik kepada Alloh ta’ala
1.
Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin,
yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
2.
Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam
ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan
bertingkah laku yang luhur.
3.
Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam
penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada
Allah swt (Tawakkal).
4.
Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun
kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana’ah/ tidak rakus)
dan menyerah.
5.
Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang
maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam
keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Hal
tersebut dapat terwujud melalui :
1.
Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang
hamba kepada derajat yang tinggi.
2.
Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya
dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
3.
Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai
hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
4.
Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang
menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
5.
Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang
membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain
itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan
akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu
pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn
Atha’illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan
hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia
menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan
hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya
untuk berbuat positif.
4.
Tarikat
Maulawiyah
Bagi
kalangan pencinta musik sufi,nama tarekat ini cukup dikenal. Maulawiyah
merupakan tarekat yg berasal dari ajaran sufi besar bernama Jalaluddin Rumi
(1273) di Turki. Tarekat ini menyebar luas ke beberapa wilayah,diantaranya di
Turki dan Amerika Utara.Salah satu keunikan pd praktik ajaran sufi tarekat ini
adalah tata cara meditasinya,yaitu berputar-putar seperti menari-mari cukup lama.
Upaya ini merupakan bagian dari cara untuk mengingatkan seseorang bahwa segala
sesuatu berawal dari sebuah putaran. Hidup merupakan putaran dari tiada menjadi
ada,kemudian tidak ada, ada, dan tiada lagi.
a.
Tokoh
Tarikat Maulawiyah
Maulānā
Jalāluddīn Muhammad Rūmī ( مولانا جلال الدین محمد
رومی ) Bahasa Turki: Mevlânâ
Celâleddin Mehmed Rumi) , juga dikenali Maulānā Jalāluddīn Muhammad Balkhī
(Parsi: محمد بلخى), atau Rumi sahaja di negara-negara bertutur Inggeris, (30 September, 1207–17 Disember, 1273), merupakan penyair, Qadi dan ahli teologi Parsi Muslim abad ke 13 Farsi (Tājīk). Namanya bermaksud “Keagungan Agama”, Jalal
berarti “agung” dan Din berarti “agama”.
Rumi
lahir di Balkh (ketika itu sebahagian dari Khorasan Besar di Negeri Parsi, kini dalam Afghanistan) dan meninggal
dunia di Konya (di Turki sekarang)
Tempat
lahir dan bahasa ibunda/tempatannya menggambarkan latar belakang Farsi. Beliau
juga menulis puisi Farsi dan
karya-karyanya tersebar di Iran, Afghanistan, Tajikistan, dan dialih
bahasa di Turki, Azerbaijan, A.S., dan Asia Tenggara. Sebahagian
besar hayat dan era penulisan ketika Empayar Seljuk. Disamping puisi Farsi beliau juga menulis
beberapa rangkap dalam bahasa Arab, Greek, dan Turki Oghuz.
Kepentingan
Rumi melangkaui batas bangsa, budaya dan negara. Sepanjang abad dia mempunyai
pengaruh dalam Kesusasteraan Parsi disamping dalam Kesusasteraan Urdu dan Kesusasteraan Turki. Sajak-sajak karangannya dibaca dengan meluas
di negara-negara seperti Iran, Afghanistan dan Tajikistan dan telah
banyak diterjemah dalam pelbagai bahasa di dunia dalam pelbagai bentuk.
Mawlana
Jalaludin Rumi yaitu Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani “Dia adalah, orang
yang tidak mempunyai ketiadaan, Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya
memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai
kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya
cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang
yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia
dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai
cinta, kalian akan memahaminya.
Rumi
memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh
di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat
yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah
pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan
seniman sekitar tahun l648.
Sebagai
tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan
kebenaran.Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi
mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal.
Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengancepat mereka
ingkari dan tidak diakui.
Padahal
menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada
sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan
kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat
dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi
mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan
adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak
yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk
Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada
indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi
Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya
dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin
akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang
terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya
sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda
mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?”
tegas Rumi.
b.
Ajaran
Tarikat Maulawiyah
Tarekat maulawiyah adalah sebuah tarekat
pengikut Jalaluddin rumi. Tarekat ini mengajarkan ajaran sufistik beraliran Jalaludin
rumi. Jalaludin sendiri merupkan seorang sufi yg memperkenalkan tarian the
whirling dervishes (tarian sufistik). Ajaran tasawuf yg ditekankn lebih
terkenal pada sisi musik sufistik.
5.
Tarikat
Syatiriyah
Syattariyah
adalah aliran tarekat pertama di india pd abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan
kpd Abdullah as -Syattar. Tarekat ini awalnya dikenal di Iran &
Transoksania dgn nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani,tarekat ini
disebut Bistamiyah.Martin Van Bruinessen.ahli antropologi,menyebutkan bahwa
tarekat ini banyak ditemukan di jawa & sumatra.Tapi,antara satu dgn lainya
tdk berhubungan. Tarekat ini relatif gampang berpadu dgn berbagai tradisi
setempat sehingga menjadi tarekat paling “mempribumi “diantara tarekat yg ada.
a.
Tokoh
Tarikat Syatiriyah
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama
kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini
dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah.
Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini
disebut Bistamiyah.
Tarekat
Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat
Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh
Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101).
Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara,
kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarekat
Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok,
yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang
dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah
yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh
Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.
Berdasarkan
silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat
Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung
ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi
sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan
ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi – tetangga Riau
dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat
ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Adapun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti
yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat
dikelompokkan pada tiga;
b.
Ajaran
Tarikat Syatiriyah
Bahagian
Pertama,
Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan
alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan
pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen
dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada
trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya
Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan
Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum
Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘a/am), Dia selalu memikirkan (berta’akul)
tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya
Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ ‘ayan
tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola
dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Ajaran
tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh
Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai
ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan
Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid
hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
Bahagian
kedua,
Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat
manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah
penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia
adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya,
Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan
nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh
seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama
yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman
itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi
Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang
sesudah mereka.
Hubungan
wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan
tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati.
Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan
tsabitah.
Ketiga;
Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bahagian
ketiga,
jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan
pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir.
Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid
zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa
Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa
Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan
untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir
itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela)
atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan
lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu
diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh
menafikan jalan syari’at.
6.
Tarikat
Naqsabandiyah
a.
Tokoh
Tarikat Naqsabandiyah
Baha’
al-Din Naqsabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan aktivitas dan
penyebaran tarekatnya mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub Carkhi, Ala’
al-Din Aththar dan Muhammad Parsa. Yang paling menonjol dalam perkembangan
selanjutnya adalah ’Ubaidillah Ahrar. Ubaidillah terkenal dengan Syeikh yang
memilki banyak lahan, kekayaan, dan harta. Ia mempunyai watak yang sederhana
dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Ia menganggap kesombongan dan
keangkuhan merendahkan tingkat moral seseorang dan melemahkan tali pengikat
spritual. Ia juga berjasa dalam meletakkan ciri khas tarekat ini yang terkenal
dalam menjalin hubungan akrab dengan para penguasa saat itu sehingga ia
mendapat dukungan yang luas jangkauannya. Pada tatanan selanjutnya tarekat ini
mulai menyebarkan gerakannya diluar Islam.
Tokoh
lain yang berperan besar dalam penyebaran tarekat ini secara geografis adalah
Said al-Din Kashghari. Ia juag telah membai’at penyair dan ulama besar ’Abd
al-Rahman Jami’ ia yang kemudian mempopulerkan tarekat ini dikalangan istana.
Kontribusi utama Jami’ adalah paparannya tentang pemikiran Ibnu ’Arabi dan
mengomentari karya-karya Ibnu Arabi, Rumi, Parsa dan sebagainya, sehingga
tersusun dalam gubahan syair yang mudah dipahami dari gagasan mereka tersebut.
Di
India, Tarekat ini mulai tersebar pada tahun 1526. Baqi Billah, dilahirkan di
Kabul merupakan syeikh yang menyebarkan ajaran Tarekat ini di India. Ia
mengembangkan ajaran Tarekat ini kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal.
Dakwahnya di India berlangsung selama 5 tahun. Hampir semua garis silsilah
pengikut Naqsabandiyah di India mengambil garis spritual mereka melalui Baqi
Biillah dan Khalifahnya Ahmad Sirhindi.
Perluasannya
mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut
nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”).
Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di
seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.
Orientasi Baru yang di bawa Sirhindi ini terlihat pada pemahamannya yang
menolak paham Wahdatul Wujud yang dibawa Ibnu ’Arabi. Sirhindi sangat menuntut
murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada Al-Qur’an dan Tradisi-tradisi
Nabi.
AjaranTarekat
Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan oleh Syeikh Yusuf
Al-Makassari(1626-1699). Seperti disebutkan dalam bukunya safinah al-Najah ia
telah mendapat ijazah dari Syeikh Naqsabandiyah yaitu Muhammad ’Abd al Baqi di
Yaman dan mempelajari tarekat ini ketika berada di Madinah dibawah bimbingan
Syaikh Ibrahim al-Kurani. Syeikh Yusuf berasal dari Kerajaan Gowa Sulawesi. Pada
tahun 1644 ia pergi ke Yaman kemudian diteruskan lagi ke makkah, madinah untuk
menuntut ilmu dan naik haji. Karena kondisi politik saat itu, ia mengrungkan
niatnya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Makassar sehingga membawanya
menetap di Jawa Barat Banten hingga ia menikah dengan putri Sultan Banten.
Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten
sebagai pusat pendidikan Islam. mIa terkenal sebagai ulama Indonesia pertama
yang menulis tentang tarekat ini.
Syeikh
Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan menulis surah-surah
tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting. Kebanyakan risalah dan
surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan Bugis. Didalam tulisan-tulisannya,
Syeikh Yusuf tetap konsisten pada paham Wahdatul Wujud dan menekankan
akan pentingnya meditasi melalui seorang Syeikh (Tawassul) dan kewajiban sang
murid untuk patuh tanpa banyak tanya kepada gurunya. Ia mengemukakan bahwa
kepatuhan paripurna kepada syeikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi demi pencapaian spiritual.
Tarekat
Naqsabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang
dibawa oleh para pelajar Indonesia yang beajar disana dan oleh para jemaah haji
Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini keseluruh
pelosok nusantara.
Penyebaran
Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para tokoh-tokoh tarekat
ini yang mengambangkan ajaran Tareqat Naqsabandiyah di bebarapa pelosok
nusantara diantaranya adalah :
1.
Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di
kepulauan Riau, beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan
mempunyai istana di penyengat dan di Lingga.
2.
Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada
Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai dikembangkan oleh
Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman al-Puntani (ulama yang terkenal di
Pontianak sebagai penganut Tasawuf dan penerjemah tak sufi)
3.
Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir
pada abad ke 11 hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat
yang paling berpengaruh di Madura dan juga di beberapa tempat lain yang banyak
penduduknya bersal dari madura, seperti surabaya, Jakarta, dan Kalimantan
Barat.
4.
Di Dataran Tinggi Minangkabau tarekat
Naqsabandiyah adlah yang paling padat. Tokohnya adalah jalaludin dari Cangking,
’Abd al Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau
sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking, Singkarak dan Bonjol.
5.
Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyas dari
Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat
utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.
Perkembangan
selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora, Banyumas-Purwokerto,
Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar.
Tarekat
ini merupakan satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang
berpenduduk mayoritas muslim. Tarekat ini sudah tersebar hampir keseluruh
provinsi yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok,
Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan
daerah-daerah lainnya. Pengikutnya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat
dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang
lebih tinggi.
b.
Ajaran Tarekat Naqsabandiyah
1).
Azas-Azas
Penganut
Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan
oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’
al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah,
termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami
al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu
dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub
oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan
masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip
dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar)
sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam
bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah
India).
Asas-asasnya
‘Abd al-Khaliq adalah:
1.
Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu
latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik
nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya.
Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan
spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang
perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah
(al-Kurdi).
2.
Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu
berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang
lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak
dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3.
Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah
kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk
ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai
makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik,
melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa
seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan
Allah (Gumusykhanawi)].
4.
Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah
keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat
pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat
bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan
tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan
terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu
berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk
turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu
yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’.
Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik
dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
5.
Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus
mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau
formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau
dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak
dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus
terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang
permanen.
6.
Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi
mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang
(melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti
sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi
(Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan).
Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat
ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya
yang halus kepada Tuhan semata.
7.
Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran
dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar
pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan
untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat
tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama
sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
8.
Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan
yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari
sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang
Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan
ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani
tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas
Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
1.
Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu
seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya.
(Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika
seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan
perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak
ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta
ampun kepada-Nya.
2.
Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir
seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir
(tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah
hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
3.
Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”.
Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir
ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain
kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras
dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar
hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
2).
Zikir dan Wirid
Teknik
dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu
berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha
illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang
lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan
dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam
(khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir
keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan
dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada
kebanyakan tarekat lain.
Dzikir
dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut
Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi
mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur
dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat
pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam
Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam
selang waktu yang lebih lama lagi.
Tarekat
Naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir yaitu:
1.
Dzikir ism al-dzat, “mengingat
yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari
pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan
tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata.
2.
Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa
itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat
la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui
tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke
ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di
situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai
ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat
tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,
memusnahkan segala kotoran.
Variasi
lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi
tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan
kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas)
berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh.
7. Tingkatan zikir ini adalah :
1.
Mukasyah. Mula-mula zikir dengan nama Allah dalam hati
sebanyak 5000 kali sehari semalam. Kemudian melaporkan kepada syeikh untuk di
naikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari-semalam. Zikir 5000 dan 6000 itu
dinamakan maqam pertama.
2.
Lathifah (jamak latha’if), zikir ini antara 7000 hingga
11.000 kali sehari-semalam. Terbagi kepada tujuh macam yaitu qalb (hati), ruh
(jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa (kedalaman
paling tersembunyi), dan nafs nathiqah (akal budi),. Lathifah ketujuh, kull
jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh.
Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah
terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Ternyata latha’if
pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu
letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi
seluruhnya sama saja.
3.
Nafi’ Itsbat, pada tahap ini, atas pertimbangan syeikh,
diteruskan zikirnya dengan kalimat la ilaha illa Allah. Merupakan maqam
ke-tiga
4.
Waqaf Qalbi
5.
Ahadiah
6.
Ma’iah
7.
Tahlil, Setelah samapat pada maqam terakhir ini maka
sang murid tersebut akan memperolah gelar Khalifah, dengan ijazah dan
berkewajiabn menyebarluaskan ajaran tarekat ini dan boleh. Mendirikan suluk
yang dipimpin oleh mursyid.
Ajaran tarekat naqsabandiyah
Ajaran dasar Tarekat
Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari’at,
thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada
prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang
ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan
dan memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan
diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di
bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20
hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh
antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk
20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan
minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan
semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh
syekh atau khalifah.
Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu;
Talqin dzikir atau bai’at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir.
Talqin dzikir atau bai’at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan
melakukan rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru
dengan cara membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika
akan memulai dzikir.
Dzikir
ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru.
Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if, (c)
dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah.
Ajaran
Asasnya:
1.
Ismu Zat (Allah), Nafi Isbat (La ilaha
Illa Allah)
2.
Baz Ghast – kembali kpd Allah
3.
Nigah Dasyat
– menjaga,
mengawasi, memelihara , bersungguh-sungguh.
4. Yad Dasyat
– mengingati
Allah secara bersungguh
- Zikir
memelihara hati dalam setiap nafas
5. Hosh Dar Dam
–
sadar dalam nafas/berzikir secara sedar dalam nafas/empat ruang nafas,
-
ruang nafas keluar masuk, dua ruangan antara nafas keluar masuk/zikirnya adalah
ALLAH
6. Nazar Bam Qadar
–
Bila berjalan sentiasa memandang ke arah kakinya, jangan melebihkan pandang ,
duduk pandang ke hadapan, merendahkan pandangan, jangan toleh kiri dan kanan
7. Safar dar watan – Bersiar-siar dalam kampung
dirinya/ meningkatkan dirinya kepada sifat malaikat:
-Taubat
-Inabat
-Sabar
-Syukur
-Qana’ah
-Wara’
-Taqwa
-Taslim
-Tawakkal
- Redha
-Inabat
-Sabar
-Syukur
-Qana’ah
-Wara’
-Taqwa
-Taslim
-Tawakkal
- Redha
Perjalanan
ada dua jenis:
a)
Perjalanan luar: dari satu tempat ke satu tempat mencari pembimbing Rohani
b)
Perjalanan dalam- tinggalkan segala tabiat buruk kepada adab tertib yang baik
dan mengeluarkan segala isi hainya dari keduniaan (Dalam hatinya akan muncul
segala apa yang diperlukan olehnya dalam kehidupan ini dan kehidupan mereka
yang berada di sampaingnya)
8.
Khalwat dar
Anjuman
Bersendirian
dalam keramaian/Khalawt kabir dan jalwat (Apabila sudah mencapai fana menerusi
zikir fikir dan semua dari luaran difanakan,pada waktu itu deria dalam bebas
meneroka ke alam kebesaran dan keagungan kerajaan Allah SWT.)
9.
Wukuf Qalbi
–
Tumpuan hati dan hati pula tumpu pada Allah
10.
Wuquf Abadi
–
memerhatikan bilangan ganjil dalam zikir naïf isbat
11.
Wuquf zamani
–
Selepas solat lakukan beberapa minit sentiasa memerhatikan hati bertawajjuh
kepada Allah swt
-
Selang beberapa jam/setiap jam semak semula kedaan hati , mempastikan hati
sentiasa ingat kepada Allah
Cabang:
Yasawi
– Kwajagan
Sidiqiyah
– Saidina Abu Bakar as Siddiq
Taifuriyah
– Abu Yazid Bustami
Khawajahganiyah
– Abdul Khaliq Ghudjuwani
Naqsyabandiyah
– Muhammad Bahauddin
Ahrariyah
– Ubaidullah Ahrar Ragamatullah
Mujaddidiyah
– Syekh Ahmad Faruqi Sirhindi
Mazhariyah
– Mirza Mashar Jan janan Syahid
Aliyah
– Shah Abdullah Ghulam Ali Dehlawi
Khalidiyah
– Syekh Ziauuddin Muahammad Khalid Uthmani Kurdi
7.
Tarikat
Suhrawardiyah
a.
Tokoh
Tarikat Suhrawardiyah
Nama lengkap
Suhrawardi adalah Abu al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din
as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153M di Suhraward, sebuah
kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah
gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the
Martyr, dan al-Maqtul.
Sebagaimana
umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke
berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama yang ia
kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini ia
belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk
memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini.
Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh
bagi Suhrawardi.
Pengembaraan
ilmiahnya kemudian berlanjut ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada
Zahir al-Din al-Qari. Dia juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir
al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan al-Sawi. Dari Isfahan ia melanjutkan
perjalanannya ke Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani
Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia yang merupakan
“gudang” tokoh-tokoh sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran tasawuf dan
akhirnya menekuni mistisisme. Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya mempelajari
teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus
mempraktekkannya sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani
hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola hidup
seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian sekaligus,
yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat dikatakan sebagai seorang
filosof sekaligus sufi.
Perjalanannya
berakhir di Aleppo, Syria. Di sini ia berbeda pandangan dengan para fuqaha
sehingga akhirnya ia dihukum penjara oleh gubernur Aleppo Malik al-Zahir atas
perintah ayahnya Sultan Salahuddin al-Ayyubi di bawah tekanan para fuqaha yang
tidak suka dengan pandangannya. Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191
M/578 H dalam usia 36 tahun (kalender Shamsiyyah) atau 38 tahun (kalender
qamariyyah). Namun demikian penyebab langsung kematiannya tidak diketahui
secara pasti, hanya menurut Ziai ia mati karena dihukum gantung. Kematiannya
yang tragis ini merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas pandangannya
yang berseberangan dengan para tokoh pada masa itu.
b.
Kondisi
Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Suhrawardi
Melihat
pada tahun hidupnya, peradaban Islam pada masa Suhrawardi berada pada fase
kematangan. Kondisi ini merupakan akumulasi dari sejarah panjang peradaban
Islam, terutama sejak bani Abbasiyah menjadi penguasa dunia Islam. Diawali
dengan penerjemahan berbagai karya ilmiah klasik ke dalam bahasa Arab peradaban
Islam terus berkembang. Kegiatan penerjemahan ini pada gilirannya mendorong
lahirnya para intelektual muslim dengan berbagai karya monumental mereka
sebagai indikator yang paling real bagi masa keemasan Islam mulai abad X hingga
mencapai puncaknya pada abad XII.
Secara
garis besar, wacana pemikiran Islam pada masa ini memiliki tiga alur utama,
pertama, falsafi yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina, dan Ibn Rushd, kedua, mistis (tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah,
Abu Yazid al-Bustami, dan al-Ghazali di antara pionir-pionirnya, ketiga¸
gabungan dari dua aliran itu melahirkan aliran yang disebut dengan teosofi.
Corak pemikiran teosofi ini selain bertumpu pada rasio, ia juga bertumpu pada
rasa (dhawq) yang mengandung nilai mistis. Berdasarkan pembagian ini, agaknya
pada aliran ketiga inilah Suhrawardi mengembang-kan pemikiran-pemikirannya.
Sebagai
orang yang mencoba menggabungkan dua aliran pemikiran yang sudah berkembang,
pemikiran Suhrawardi tentu tidak terlepas dari pengaruh kedua aliran pemikiran
itu. Dalam bidang filsafat, Suhrawardi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
Zoroasterianisme, filsafat Yunani khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus,
serta al-Farabi dan Ibn Sina dari kalangan filosof Islam. Di samping itu,
sebagai seorang sufi, Suhrawardi juga banyak terpengaruh oleh pemikiran
pendahulunya seperti Dhu al-Nun al-Mis}ri (w. 860), Abu Yazid al-Bustami (w.
974), dan al-Ghazali (w. 1111). Pemikiran Suhrawardi tumbuh dan berkembang
sebagai wujud ketidak-puasannya terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.
c.
Karya-Karya Suhrawardi
Suhrawardi
adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam
jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang
relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan
kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
Dalam
konteks karya-karyanya ini, Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi lima
kategori sebagai berikut :
a. Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali
ajaran peripatetik. Termasuk dalam
kelompok ini antara lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat,
dan Hikmah al-‘Ishraq.
b. Membahas tentang filsafat yang disusun secara
singkat dengan bahasa yang mudah dipahami : Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan
Risalah fi al-‘Ishraq.
c. Karya yang
bermuatan sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah
al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at
al-Sufiyyin.
d. Karya yang
merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah
fi al-‘Ishq.
e. Karya yang
berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
Pemikiran Teosofis Suhrawardi
Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari
kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia yang
berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti
pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan. Dalam kaitan dengan
bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua
istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan,
perbedaannya terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan,
teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan
hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih
menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang
paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara
orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos.
Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos
menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang ahli dalam dua hikmah
sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah ‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud
dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyyah ialah
tasawuf.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa
teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh
melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang
yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan
penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.
Konsep Teosofi Suhrawardi
Pemikiran
teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang
lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri
sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara
mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum
menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn
Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga
posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, 2) sebagai
mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3) sebagai mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama,
dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan
akal kedua, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi
memunculkan jirm al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri
sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu seterusnya sampai
akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan adanya alam. (Gambaran lengkap
mengenai emanasi al-farabi dan Ibn Sina lihat lampiran 1 dan 2).
Sebagai
pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru,
yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal
sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan
dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi,
dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan
falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga
posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi
memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu.
Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.
Selanjutnya
Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah
cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat
diilustrasikan sebagai berikut :
Proses
iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari
segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada
satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya
memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak
ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab
(cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga,
dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya
kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam,
begitu
seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap
tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar,
dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya
yang berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu
menerima pancaran dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua
cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya
tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka
semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu
pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di atas, maka dari proses
penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil
jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab)
memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III
memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V
memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII
memperoleh 64 kali pancaran, cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX
memperoleh 256 kali pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu
seterusnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di
bawah akan menerima pancaran sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki
cahaya yang berada setingkat di atasnya.
Senada
dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga membentuk susunan kosmologi yang
terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya
pertama sampai cahaya kesepuluh secara berturut-turut, adalah The great sphere
of diurnal motion, the sphere of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere
of Jupiter, the sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the
sphere of mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of
zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan
pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah
firman Allah dalam Surat al-Nur ayat 35 berikut ini :
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ã@sWtB ¾ÍnÍqçR ;o4qs3ô±ÏJx. $pkÏù îy$t6óÁÏB ( ßy$t6óÁÏJø9$# Îû >py_%y`ã ( èpy_%y`9$# $pk¨Xr(x. Ò=x.öqx. AÍhß ßs%qã `ÏB ;otyfx© 7p2t»t6B 7ptRqçG÷y w 7p§Ï%÷° wur 7p¨Î/óxî ß%s3t $pkçJ÷y âäûÓÅÓã öqs9ur óOs9 çmó¡|¡ôJs? Ö$tR 4 îqR 4n?tã 9qçR 3 Ïöku ª!$# ¾ÍnÍqãZÏ9 `tB âä!$t±o 4 ÛUÎôØour ª!$# @»sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇÌÎÈ
Artinya
: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita
besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.
Dalam
konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan
penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan
cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab
sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya
cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang
kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan
cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya
lahir.
Berdasarkan
pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling
tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.